RAJABERITA – Di balik puing-puing yang tersisa setelah lebih dari dua tahun bombardir, secercah harapan mulai tampak. Para pejabat keuangan dunia menyatakan kesediaannya membantu membangun kembali Jalur Gaza, wilayah kecil yang telah lama menjadi simbol penderitaan dan keteguhan rakyat Palestina.
Dalam pertemuan Komite Pembangunan (Development Committee) tingkat menteri—badan yang memberi nasihat kepada Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF)—para pemimpin dunia membahas langkah besar: rekonstruksi Gaza. Biayanya tidak kecil, diperkirakan mencapai 70 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.158 triliun. Angka fantastis itu mencerminkan skala kerusakan akibat agresi Israel yang telah berlangsung sejak 2023.
Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Ngozi Okonjo-Iweala, menyambut gencatan senjata yang kini berlaku di Gaza dengan hati-hati penuh harap. “Kami sangat mengapresiasi bahwa pembunuhan telah berhenti, para sandera telah dipulangkan. Kami berharap ini menjadi awal fase baru yang membawa perdamaian,” ujarnya, seperti dikutip Times of Israel.
Also Read
Namun, kedamaian di atas kertas belum sepenuhnya menjangkau tanah Gaza. Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan sedikitnya 23 warga Palestina masih tewas akibat serangan Israel setelah gencatan senjata diberlakukan pada 10 Oktober 2025. Di sisi lain, PBB melaporkan konvoi bantuan kemanusiaan masih kesulitan menjangkau wilayah utara Gaza karena kerusakan jalan dan blokade yang masih ketat.
Program Pangan Dunia (WFP) mencatat, sekitar 560 metrik ton makanan berhasil masuk ke Gaza setiap hari sejak gencatan senjata diumumkan. Tapi jumlah itu masih jauh dari cukup untuk memberi makan jutaan penduduk yang hidup di bawah kelaparan dan trauma berkepanjangan.
Tantangan Membangun dari Reruntuhan
Dalam forum internasional itu, perhatian utama tertuju pada bagaimana membangun kembali Gaza—dan dari mana harus memulai. Bank Dunia menegaskan kesiapannya bekerja dengan masyarakat lokal serta mitra internasional untuk mempercepat pemulihan, meski mengakui prosesnya tidak akan mudah.
“Kami ingin membantu agar warga Gaza bisa kembali hidup normal. Tapi ini akan memakan waktu panjang,” kata Okonjo-Iweala.
Sementara itu, Haoliang Xu, pejabat sementara Administrator Program Pembangunan PBB (UNDP), menegaskan bahwa prasyarat rekonstruksi belum sepenuhnya terpenuhi. Ia menyebut masih ada sekitar 61 juta ton puing bangunan yang harus disingkirkan sebelum pembangunan bisa dimulai.
“Masalahnya adalah: dari mana harus memulai? Kami mampu melakukannya, tapi keamanan, akses wilayah, dan pembebasan sandera harus dipastikan dulu,” jelas Xu.
Selain pembersihan puing, tantangan lain datang dari kebutuhan tempat tinggal bagi ribuan keluarga yang kehilangan rumah, terutama menjelang musim dingin yang segera tiba.
Jalan Panjang Menuju Pemulihan
Sebelumnya, Bank Dunia, PBB, dan Uni Eropa memperkirakan biaya rekonstruksi Gaza mencapai 50 miliar dolar AS. Namun, dengan tingkat kehancuran yang terus bertambah, estimasi itu kini melonjak menjadi 70 miliar dolar AS—setara Rp1.158 triliun.
Konferensi internasional untuk membahas mekanisme pendanaan tengah dipersiapkan, meski tanggal pastinya belum ditentukan. Proses rekonstruksi ini diperkirakan akan berlangsung bertahun-tahun, menuntut koordinasi lintas lembaga, dan komitmen politik yang berkelanjutan.
Meski kompleks, banyak pihak melihat pembangunan kembali Gaza bukan sekadar proyek fisik, melainkan langkah moral dan kemanusiaan. Di tengah reruntuhan, dunia mencoba menanam kembali benih harapan bagi warga Palestina.
Karena bagi jutaan orang yang hidup di Gaza, rumah bukan hanya dinding dan atap—melainkan simbol hak untuk hidup damai di tanah sendiri.















