RAJABERITA – Kabar penting datang dari Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga yang dipimpin Suhartoyo itu resmi mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan).
Putusan tersebut membawa perubahan besar dalam penegakan hukum, khususnya terkait kewenangan aparat penegak hukum terhadap jaksa. Kini, lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri dapat melakukan operasi tangkap tangan (OTT) atau tindakan hukum lain tanpa perlu izin dari Jaksa Agung, jika seorang jaksa tertangkap tangan atau diduga kuat melakukan tindak pidana berat, termasuk korupsi.
Permohonan uji materi ini diajukan oleh Agus Setiawan (aktivis/mahasiswa), Sulaiman (advokat), dan Perhimpunan Pemuda Madani. Putusan dengan Nomor 15/PUU-XXIII/2025 itu dibacakan dalam sidang pleno di Gedung I MK, Jakarta, Kamis (16/10/2025), dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo.
Also Read
Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan Pemohon I dan II, dengan menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali jika dimaknai adanya pengecualian bagi jaksa yang tertangkap tangan atau diduga kuat melakukan tindak pidana berat.
Dengan demikian, bunyi pasal yang telah dikoreksi MK kini berbunyi:
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal:
- a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
- b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.”
Selain itu, MK juga menyatakan Pasal 35 ayat (1) huruf e beserta penjelasannya dalam UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sementara sebagian pasal lain yang dimohonkan oleh para pemohon dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Arsul Sani menegaskan bahwa perlindungan terhadap aparat penegak hukum memang penting, namun tidak boleh melanggar prinsip equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum.
“Norma tersebut tidak sejalan dengan semangat equality before the law dan berpotensi melemahkan prinsip negara hukum. Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat norma ini harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat,” ujar Arsul dalam persidangan.
Menurut Arsul, perlindungan terhadap jaksa harus berada dalam batas wajar demi menjaga independensi mereka, namun tidak boleh menimbulkan kesan adanya perlakuan istimewa dibandingkan aparat hukum lain.
Menariknya, MK juga menegaskan telah mengubah pandangan dari Putusan Nomor 55/PUU-XI/2013, yang sebelumnya menyatakan izin Jaksa Agung bersifat konstitusional. Perubahan sikap ini disebut sebagai langkah penyesuaian terhadap semangat penegakan hukum yang setara bagi semua pihak.
Namun, dua hakim konstitusi yakni Arief Hidayat dan M. Guntur Hamzah menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Keduanya menilai seharusnya permohonan tersebut ditolak, karena Pasal 8 ayat (5) tidak dimaksudkan sebagai bentuk imunitas, melainkan mekanisme perlindungan profesi jaksa. Mereka berpendapat keterlibatan Jaksa Agung justru memperkuat prinsip check and balances bila dijalankan secara profesional, transparan, dan akuntabel.
Dengan putusan ini, MK menegaskan kembali bahwa semua aparat penegak hukum — termasuk jaksa — berada dalam posisi yang sama di hadapan hukum, tanpa terkecuali.















