RABE.ID – Jabatan menteri seharusnya didasarkan pada kompetensi, bukan afiliasi partai politik. Menteri bertugas menjalankan kebijakan negara, bukan kepentingan partai. Profesionalisme, fokus pada kinerja, dan loyalitas kepada konstitusi serta presiden adalah kunci.
Pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia baru-baru ini menyoroti dilema antara profesionalisme dan loyalitas politik. Tanggapannya terhadap ancaman reshuffle Presiden Prabowo Subianto, dengan menggunakan istilah “sesama bus kota jangan saling mendahului,” menimbulkan pertanyaan tentang keseriusannya terhadap jabatan publik.
Publik juga mencurigai adanya loyalitas ganda pada diri Bahlil, yang pernah menyebut Jokowi sebagai “Bos.” Hal ini menimbulkan kekhawatiran etis, karena menteri dalam kabinet Prabowo seharusnya berkomitmen penuh pada kepemimpinan baru.
Also Read
Presiden Prabowo telah mengingatkan para menterinya untuk bekerja dengan benar dan siap melakukan reshuffle jika diperlukan. Ini adalah penegasan prinsip akuntabilitas politik.
Dugaan publik bahwa Bahlil layak dicopot mencerminkan masalah serius dalam birokrasi: kompetensi dan integritas. Sektor energi membutuhkan kompetensi, sementara integritas diperlukan untuk kebijakan yang tidak memihak.
Jabatan menteri bukan tentang posisi di partai, tetapi tentang pemahaman dan tanggung jawab terhadap mandat publik. Jika jabatan ini hanya menjadi perpanjangan tangan partai, pemerintahan akan dipenuhi orang-orang yang pandai berbicara tetapi tidak kompeten.
Tantangan bagi Presiden Prabowo adalah memastikan kabinetnya diisi oleh para profesional, bukan politisi partai. Publik akan menilai menteri dari hasil kerja nyata, bukan dari afiliasi politiknya.















